Jakarta, kota metropolitan. Jakarta, kota yang gemerlap. Jakarta, tidak pernah tidur barang sekejap pun. Jakarta, hutan beton. Jakarta, kota penuh polusi, debu, dan asap. Dan masih banyak Jakarta - Jakarta lainnya.
Semuanya mengarah pada satu kenyataan. Jakarta adalah sebuah kota sibuk dimana sebagian besar penghuninya lebih mementingkan kepetingan diri sendiri, kelompok, dan golongan, sehingga tidak lagi mempedulikan lingkungan sekitarnya.
Jakarta, Jakarta. Tidakkah pernah terbersit sedikitpun dalam pikiran kita, bahwa dulunya, entah berapa abad yang lalu, Jakarta hanyalah sebuah perkampungan sederhana bernama Sunda Kelapa? Sunda Kelapa, pelabuhan dimana Sekutu -dengan seenaknya- mengubahnya menjadi suatu pusat perdagangan yang bernama Batavia. Atau lebih jauh lagi, mungkin satu milenium yang lalu, saat Jakarta hanyalah (seperti lainnya) hutan liar yang penuh dengan pepohonan?
Perkembangan ini cukup mengejutkan. Meskipun Jakarta masih mempertahankan ke"hutan"an-nya. Walau dalam bentuk berbeda. Dulu, hutan pohon. Hutan kayu. Hutan jati. Atau hutan (betulan) lainnya. Sekarang, hutan beton. Hutan gedung pecakar langit. Dan sejenisnya. Juga satu jenis hutan lagi, namanya hutan kebohongan. Juga sering disebut hutan kemunafikan. Dulu, tanah ya memang betul tanah. Sekarang, tanah? Tanah = aspal. Tanah = semen. Tanah = beton. Apa apaan?
Roda kehidupan berputar semakin cepat. Setidaknya begitulah di Jakarta. Harga tanah jadi selangit. Menjamur perumahan elit. Apartemen - apartemen bermodal pelit. Banyak koruptor berhati sempit. Menyebabkan perusahaan - perusahaan, besar maupun kecil, berkembang menjadi pailit. Meninggalkan ribuan pekerja sembelit memikirkan nasib keluarga yang perutnya melilit. Anak - anak menjerit - jerit. Orangtua morat - marit. Hidup selalu irit, tapi apa daya belum melunasi hutang kredit.
Terus berlanjut, berlanjut terus. Terus bertambah, bertambah terus. Yang tersisa? S-A-M-P-A-H. Lalu? Mampus. Gampang toh?
Solusinya? Gampang juga kok. Yang kaya mawas diri, yang miskin sadar diri. Manusia peduli pada lingkungan, maka lingkungan menghasilkan yang baik unuk manusia. Yang namanya manusia ya harus peduli dengan yang bukan manusia. Toh sudah bagus diberi akal. Diberi kemampuan untuk berpikir. Toh sekarang sudah bisa menguasai dunia.
Yang merasa dirinya manusia tapi tidak peduli dengan lingkungannya itu sama sekali bukan manusia. Yang hanya mementingkan kepuasan dirinya, kemakmuran kelompoknya, dan kekayaan golongannya itu BUKAN MANUSIA. Mereka tidak lebih baik dari primata - primata primitif yang kerjanya hanya makan, tidur, buang air, menggaruk - garuk, dan menguap lebar.
Ya sudahlah. Sudah ngomong muluk - muluk tapi tidak ada tindakannya ya percuma. Lidah pandai berpropaganda tetapi tidak dilaksanakan ya sama saja bohong. Oh iya, namanya juga hutan kebohongan. Jadi, kembali lagi ke pilihan kita. Mau jadi manusia, atau jadi primata primitif?
Mau jadi manusia, tapi sibuk? Maklum lah, Jakarta kan (katanya) sebuah kota sibuk dimana sebagian besar penghuninya lebih mementingkan kepetingan diri sendiri, kelompok, dan golongan, sehingga tidak lagi mempedulikan lingkungan sekitarnya. Jadi gimana dong? Mana tahu, terserah dong. Manusia kan (katanya) punya akal budi. (Katanya) punya kemampuan untuk berpikir. Atur sendiri dong.
Kebenaran tulisan ini bisa sangat akurat, bisa juga salah total. Tergantung siapa yang membaca, bagaimana cara membacanya, dan kapan tulisan ini dibaca. Saya pribadi sih tidak mengharapkan adanya pertentangan (yang tidak penting sama sekali) hanya karena membaca tulisan seperti ini.
No comments:
Post a Comment